Waspada! Bencana Ini Mengintai Indonesia, BMKG: Tandanya Sudah Muncul

Waspada! Bencana Ini Mengintai Indonesia, BMKG: Tandanya Sudah Muncul

"Akibat kekurangan air ini, diproyeksikan oleh organisasi meteorologi dunia, termasuk di Indonesia warnanya orange, terjadi kondisi kerentanan cukup tinggi terhadap ketahanan pangan," ungkap Dwikorita.

BACA JUGA:Musim Kemarau, Warga Dihimbau Jaga Kesehatan dan Waspada Potensi Bencana

BACA JUGA:Sopir Bus Handoyo Jadi Tersangka, Ngebut hingga Kecelakaan di Tol Cipali Menyebabkan 12 Orang Tewas

Indikator tekanan ketahanan pangan, lanjutnya, menunjukkan pada pertengahan abad nanti, sekitar tahun 2050-an, sebagian besar wilayah di bumi akan berwarna orange sampai orange pekat, bahkan hitam.

"Diprediksi pada tahun 2050-an akan terjadi kekurangan pangan akibat kekurangan air tersebut, di wilayah-wilayah orange, cokelat, merah, dan sampai gelap. Indonesia masuk kategori wilayah menengah (orange)," kata Dwikorita.

"Dan kita akan kesulitan impor karena negara-negara penghasil pangan pun malah mengalami kekeringan lebih parah," ujarnya.

Dwikorita memaparkan, hasil pantauan BMKG, penyebab perubahan iklim yang ditandai dengan lonjakan suhu bumi tersebut yang ditunjukkan konsentrasi CO2 yang diukur di GAW Kototabang, termonitor konsentrasi CO2 sejak tahun 2004 yang semakin melompat hingga tahun 2023 ini.

Dari sekitar 370 ppm konsentrasi Co2, tahun ini sudah berkisar 415 ppm.

"Padahal, bukit Kototabang itu di tengah hutan, tidak di Jakarta, tidak ada polusi. Sehingga bisa di bayangkan, di tengah hutan pun konsentrasi CO2 di kota pun sudah melompat. Hal ini mengakibatkan selubung gas rumah kaca di atmosfer," terangnya.

"Selubung gas rumah kaca itu menghambat terlepasnya radiasi matahari kembali ke angkasa. Selama puluhan tahun radiasi itu tidak kembali ke angkasa karena CO2 gas rumah kaca," jelas Dwikorita.

Akibatnya, sejumlah efek diprediksi akan melanda bumi, termasuk Indonesia.

"Itu lah kondisinya. Dampaknya, es puncak Jayawijaya diprediksi akan punah tahun 2025. Dan, cuaca ekstrem semakin sering terjadi," ungkapnya.

"Untuk itu BMKG melakukan pelatihan adaptasi perubahan iklim, meningkatkan literasi iklim untuk masyarakat, serta memperluas penerapan transformasi energi dari energi fosil ke nonfosil," pungkas Dwikorita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: