Berdasarkan buku Kisah Perjuangan Pattimura, yang dikarang oleh Sapija M Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional dan diterbitkan oleh Leppenas tahun 1984 disebutkan tokoh Pahlawan nasional satu ini, masih tergolong keturunan Bangsawan dari Nusa Ina.
Kisah Heroik Pattimura
Kisah Heroik dari Kapitan Pattimura terjadi sekitar tahun 1817. Saat itu terjadi penyerahan Inggris oleh Belanda. Inggris kalah berperang melawan Bangsa Perancis dan Bangsa Belanda.
Sehingga Kekuasaan atas Maluku dipindahkan dari Gubernur Inggris W.B Martin kepada Komisaris Pemerintah Belanda Nicolas Engelhard dan J. A Van Middelkop di Benteng Victoria pada 24 Maret 1817 Keduanya tiba di Ambon pada Februari 1817.
Tiga kapal Belanda melepas jangkar di Teluk Ambon. Kapal Evertsen dibawa komando Kapten Laut N.H Dietz yang meninggal 24 Maret 1817 sehingga digantikan Letnan Laut QRM Van Huell. Kapal Nassau dibawa komandan laut Sloterdijk dan Kapal Maria Reigersbergen dibawa Komando Letnan Laut Groot.
Perubahan penguasa berdampak pada perubahan kebijakan pada masa Inggris dan Belanda. Hal ini memicu ketidakpuasan di Maluku, terutama di kawasan Kepulauan lease dan sekitarnya. Residen Honimoa (Saparua) dijabat Johannes Rudolf Van de Berg sejak Maret 2017.
Belanda menetapkan kebijakan Politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi, serta mengabaikan Traktat London, antara lain dalam pasal 11 Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dulu pemindahan Korps Ambon dengan Gubernur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas.
Jika Pemerintahan Inggris berakhir di Maluku, maka para serdadu-serdadu, Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak memilih untuk memasuki Dinas Militer Pemerintah baru atau keluar dari Dinas Militer, akan tetapi pemindahan Dinas Militer ini dipaksakan.
Rakyat menolak kedatangan Belada, karena kondisi politik, ekonomi dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama 2 abad. Hal ini membuat semua negeri Maluku marah, sehingga muncul istilah di kalangan masyarakat Maluku, suatu peribahasa yang digunakan yaitu (Pantung) pada saat itu.
"Cengkeh cupa-cupa, beras gantang-gantang, orang laeng yang susah, orang laeng terima gampang, ". Itu merupakan sikap Protes Masyarakat atas Monopoli buah Cengkeh dan Pala yang sedang dilakukan Kompeni pada waktu itu.
Sampai akhirnya memunculkan perlawanan. Karena Kompeni mengambil hasil Pala dan Cengkeh dengan cuma-cuma atau harga sangat murah.
Hal itu menggelisahkan rakyat sehingga memicu aksi perlawanan yang diinisiasi melalui pertemuan Gunung Sanin tepat di Bulan Mei 1817.
Adalah Kapitan Sayyid, bersama Kapitan-kapitan lain di Tanah Maluku termasuk bersama Kapitan Pattimura menggalang kekuatan untuk melawan VOC.
Kisah Kekuatan dan kesungguhan Hati Kapitan Pattimura, dalam mengusir penjajah terekam dalam suatu kisah, kala itu Kapitan Sayyid tengah melakukan sayembara untuk mencari pimpinan pasukan. Satu per satu para kapitan yang jumlahnya mencapai 99 orang itu disuruh naik ke ujung Tombak yang terhunus dan berdiri tegak di ujungnya tanpa memakai alas kaki.
Ajaib hal tersebut Kapitan Pattimuran yang bisa melakukan meski saat itu kakinya harus berlumuran darah, dan membuat dirinya diangkat menjadi Kapitan Pattimura.
Kisah tersebut sampai berlanjut dengan perlawanan seluruh Rakyat Pattimura pada 15-16 Mei taktala Kapitan Patimura dan pasukannya berhasil merebut Benteng Duurstade dan membantai Residen Johannes Rudolf Van Berg, istrinya, 3 anaknya dan pengasuh mereka.