Ekonom Buka Suara Soal Dampak Kemenangan Donald Trump ke Perekonomian RI

Ekonom Buka Suara Soal Dampak Kemenangan Donald Trump ke Perekonomian RI

Potret Donald Trump tertembak saat kampanye di Pennsylvania pada Sabtu, 13 Juli 2024.--instagram.com/berbagai sumber

JAKARTA, RADARPENA.CO.ID - Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai dampak kemenangan Donald Trump dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat (AS) 2024 harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah menuai beragam kekhawatiran di kalangan masyarakat.

Kini, sejumlah pihak mulai melakukan antisipasi terhadap risiko kebijakan proteksionisme dan energi yang mungkin akan ditekankan oleh Trump.

Menurut keterangan Ekonom sekaligus Dosen Universitas Pembangunan Nasional 'Veteran' Jakarta, Achmad Nur Hidayat, langkah antispasi memang sudah harus diterapkan untuk menghadapi perubahan kebijakan ekonomi global oleh Trump.

Salah satu dampak tersebut, menurut Achmad, adalah produksi domestik dan relaksasi aturan lingkungan berpotensi meningkatkan pasokan minyak AS secara signifikan.

"Dalam konteks ini, harga minyak dunia bisa turun akibat bertambahnya pasokan dari produsen besar seperti Amerika Serikat, yang dapat berdampak besar bagi negara pengimpor minyak seperti Indonesia," ujar Achmad saat dihubungi oleh Disway pada Sabtu 9 November 2024.

Menurut Achmad, penurunan harga minyak memang menguntungkan Indonesia sebagai pengimpor, tetapi volatilitas ini juga bisa berpotensi untuk memengaruhi stabilitas ekonomi dalam jangka panjang.

BACA JUGA:Apresiasi Perpres Hapus Utang UMKM, Ekonom INDEF: Dampak Positif pada Kebangkitkan Perekonomian

BACA JUGA:Harga Pertalite dan Solar Disinyalir Naik Jika Subsidi Dicabut, Ekonom Minta Pemerintah Waspada

Di sisi lain, kemenangan Trump dapat memperkuat sentimen positif terhadap dolar AS, yang kemudian menekan nilai tukar rupiah dan menjadi tantangan yang perlu diantisipasi Indonesia.

"Meski depresiasi rupiah di bawah tekanan dolar mungkin tidak lebih buruk dibandingkan mata uang lain, Indonesia tetap harus waspada terhadap potensi volatilitas ini. Potensi fluktuasi nilai tukar yang tinggi bisa berdampak pada kondisi fiskal negara, terutama dalam hal pembiayaan defisit anggaran," pungkas Achmad.

Selain dampak langsung terhadap harga minyak dan nilai tukar, yang lebih penting untuk diperhatikan adalah tantangan dalam pembiayaan defisit melalui Global Bond.

Dengan kata lain, jika Trump menjalankan kebijakan proteksionisme dan suku bunga AS meningkat, investor bisa lebih tertarik pada obligasi AS daripada obligasi negara berkembang seperti Indonesia.

"Situasi ini berpotensi membuat Indonesia menghadapi biaya yang lebih tinggi untuk menarik minat investor pada Global Bond yang diterbitkan untuk menutupi defisit anggaran," jelas Achmad.

Menurut Achmad, Pemerintah Indonesia harus cermat menilai apakah strategi pembiayaan melalui Global Bond masih efektif atau justru menjadi beban tambahan dalam kondisi pasar internasional yang tidak pasti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: