Mengungkap soal Usia Kehamilan yang Dapat Lakukan Aborsi, Kemenkes Buka Suara

Mengungkap soal Usia Kehamilan yang Dapat Lakukan Aborsi, Kemenkes Buka Suara

Kemenkes.-Annisa Zahro-radarpena.co.id

JAKARTA, RADARPENA.CO.ID - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan tanggapan terkait usia kehamilan yang bisa melakukan aborsi. Sebelumnya, terdapat kebingungan antara usia kehamilan yang bisa dilakukan aborsi bagi korban pemerkosaan, terutama bagi umat Islam.

Pasalnya, terdapat perbedaan ketentuan pada fatwa MUI dan KUHP. Di mana, KUHP terbaru 2023 menyejut bahwa ibu hamil atas kondisi medis atau korban pemerkosaan bisa menggugurkan kandungannya selama janin masih berusia kurang dari 14 minggu.

Sementara fatwa MUI yang dikeluarkan tahun 2005 mengatur bahwa aborsi dilarang, kecuali atas indikasi medis yang mengancam nyawa ibu dan korban pemerkosaan dengan usia kehamilan paling lambat 40 hari.

Setelah usia 40 hari, janin telah ditiupkan ruh sehingga apabila diaborsi akan dianggap sebagai pembunuhan. Bukan hanya masyarakat, hal ini turut dipertanyakan oleh anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

BACA JUGA:

"Antara KUHP dengan MUI, memang ini yang terjadi (ada perbedaan). Jadi saya kalau soal mengomentari, justru saya ingin tanya ke pemerintah," ungkap Ketua Bidang Legislasi dan Advokasi PB IDI dr Ari Kusuma Januarto, SpOG, Obginsos pada konferensi pers daring IDI, Jumat, 2 Agustus 2024.

Menurutnya, semakin tua usia kehamilan, semakin tinggi risiko yang dialami ibu, mulai dari pendarahan, infeksi, faktor pembiusan, serta trauma psikologis. Ia juga mengaku bahwa pihaknya tidak dilibatkan dalam pembahasan mengenai aturan ini.

"Waktu KUHP ini muncul, siapa yang ditanya dan kenapa bisa jadi 14 minggu, makanya saya bilang justru saya harusnya menanyakan pada para pembuat-pembuat (kebijakan) ini. Karena jujur, kami tidak diajak dalam pembahasan," ungkap dr Ari.

Menanggapi hal ini, Kemenkes menegaskan bahwa pihaknya mengikuti regulasi yang telah ditetapkan pemerintah.

"Ini sudah ada penetapan di KUHP ya, jadi kita merujuk kepada aturan yang sudah ditetapkan sebelumnya dan Permenkes turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023," terang Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid kepada Disway, 3 Agustus 2024.

Menurutnya, pemerintah dalam membuat peraturan telah melibatkan berbagai pihak, mulai dari ahli kesehatan hingga organisasi keagamaan.

BACA JUGA:

"Aturan sifatnya universal dan pembahasan dalam public hearing juga dilakukan dengan melibatkan para ahli kesehatan, organisasi masyarakat, dan organisasi keagamaan," tandasnya.

Sementara itu, Nadia mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menyusun aturan turunan mengenai PP Nomor 28 Tahun 2024 ini, termasuk sanksi pelanggaran pada praktik aborsi, melalui peraturan Menteri Kesehatan (permenkes).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: