VIRAL Emak-emak Ngamuk saat Tak Diberi Uang, Begini Sejarah Mengemis di Indonesia

VIRAL Emak-emak Ngamuk saat Tak Diberi Uang, Begini Sejarah Mengemis di Indonesia

Hukum bagi pengemis: antara moralitas, kriminalitas, dan solusi berkelanjutan--pexels.com/Timur Weber

Ganjar juga menjelaskan bahwa asal usul kata "pengemis" bisa ditelusuri dari tradisi kemisan di masa Sri Susuhunan Paku Buwono X, yang memerintah di Kesunanan Surakarta pada tahun 1893–1939. 

BACA JUGA:

Dengan demikian, penelusuran etimologi kata "pengemis" mengungkapkan hubungannya dengan tradisi dan perkembangan linguistik dalam masyarakat Jawa.

Sejarah Mengemis di Indonesia

Mengemis telah menjadi bagian dari sejarah Indonesia sejak zaman dahulu, terkait erat dengan kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, dan minimnya kesempatan kerja. 

Asal-usulnya terkait dengan sejarah Kesunanan Surakarta Hadiningrat, di mana Pakubuwono X dikenal sebagai pemimpin dermawan yang sering memberikan sedekah kepada yang membutuhkan. 

Pemberian sedekah ini terutama dilakukan menjelang hari Jumat, dengan Raja Pakubuwono X berjalan dari istana menuju Masjid Agung untuk melihat langsung keadaan rakyatnya. 

Praktik ini menjadi bagian dari budaya dan sejarah sosial Indonesia, mencerminkan nilai-nilai kepedulian dan solidaritas.

Dalam perjalanan, Pakubuwono X melintasi alun-alun utara, di mana rakyatnya berjejer dengan tertib, memberikan salam dan mengundangkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada raja. 

Raja tersebut memanfaatkan kesempatan ini untuk bersedekah dan berbagi langsung kepada rakyatnya. 

BACA JUGA:

Kegiatan ini, yang dilakukan pada hari Kamis, merupakan warisan dari pendahulunya, dilanjutkan secara turun-temurun. 

Dalam bahasa Jawa, Kamis disebut Kemis, sehingga muncul istilah "ngemis" untuk mengharap berkah pada hari itu, dan rakyat yang sering menerima pemberian dari raja disebut "wong ngemis". 

Awalnya, pengemis tidak dianggap sebagai peminta-minta, melainkan pengharap berkah pada hari Kamis. 

Namun, istilah "pengemis" muncul pertama kali pada 1895, dalam laporan tentang kegiatan Pakubuwono X, dan juga tercatat dalam Serat Sri Karongron pada 1914. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: