JAKARTA, RADARPENA.CO.ID - Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini menjadi kekhawatiran bagi masyarakat.
Hal ini dinilai menjadi cerminan minimnya edukasi seksual yang seharusnya sudah didapatkan sejak dini.
"Kasus-kasus yang terjadi banyak dilakukan oleh anak, berupa kekerasan seksual sampai kemudian pembunuhan, kami sepakat bahwa kita darurat untuk pendidikan kesehatan reproduksi ataupun pendidikan seksual sejak dini kepada anak," terang Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan KemenPPPA Ciput Eka Purwanti kepada Disway, 10 September 2024.
Menurutnya, masyarakat Indonesia masih terkungkung dari terminologi edukasi seksual karena pemahaman masyarakat awam yang menganggapnya sebagai pengajaran untuk anak sehingga mengenal hubungan seksual sebagaimana yang dipahami oleh orang dewasa.
Padahal, ia menegaskan bahwa pendidikan seksual sejak dini dimulai dengan mengenali organ-organ reproduksinya, baik sebagai perempuan atau sebagai laki-laki termasuk perbedaan di antaranya.
BACA JUGA:
- Cara Pendekatan Psikologis Terhadap Anak yang Jadi Korban Pelecehan Seksual: Lakukan dengan Kehati-hatian
- Mengenal Raja Singa: Penyakit Menular Lewat Aktivitas Seksual, Kenali Gejala dan Cara Pencegahannya
"Dan mereka memahami dari awal bagaimana untuk mencegah orang lain melakukan tindakan-tindakan yang masuk kategori kekerasan seksual. Penjelasan pentingnya adalah informasi-informasi edukasi ini harus diberikan sesuai dengan usia tumbuh kembang anak," tutur Ciput.
Tentunya, menjelaskan perihal kekerasan seksual pada anak PAUD berbeda dengan remaja SMP.
Di lingkungan sekolah sendiri, edukasi seksual sudah masuk dalam kurikulum pendidikan dari jenjang paling rendah hingga paling tinggi.
Menurut riset dari Australian National University, materi bahan ajar tentang kesehatan reproduksi sudah ada di Indonesia.
"Mereka memetakan dari tingkat SD, SMP, dan SMA. Ternyata pendidik materi edukasi tentang kesehatan reproduksi itu ada di berbagai mata pelajaran sangat berbeda-beda. Kurikulum memberikan kebebasan bagi sekolah untuk menempatkan materi ini dalam berbagai mata pelajaran yang relevan," ungkapnya.
Sehingga, edukasi seksual dapat ditempatkan pada mata pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga, muatan lokal, hingga bagian dari materi pelajaran agama dan sebagainya.
"Kemudian dalam perkembangannya, kami juga mengetahui bahwa Kemendikbudristek juga sudah pernah menyusun materi bahan ajar tentang kesehatan reproduksi ini, dibantu oleh berbagai lembaga masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan, terutama concern pada kesehatan perempuan dan anak," lanjutnya.
Namun demikian, materi bahan ajar ini sempat tidak dapat diimplementasikan dengan berbagai tantangan, antara lain karena nomenklaturnya adalah kesehatan reproduksi maka Kementerian Kesehatan merasa memiliki juga kewenangan untuk bisa memastikan bahwa materi bahan ajar itu sesuai dengan kaidah dan norma yang ada di bidang kesehatan.
"Dan kami sempat mengetahui bahwa tahun ini kembali dua kementerian ini berkoordinasi untuk menyegerakan tersedianya materi pendidikan tentang kesehatan reproduksi ini di semua tingkat pendidikan."