Menyadari pentingnya gelar sarjana untuk memasuki dunia kerja, ada kebutuhan mendesak untuk kebijakan yang lebih mendukung pendidikan tinggi agar relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
Dampak Pernyataan
Pernyataan dari Prof. Tjitjik Srie Tjahjandarie bahwa pendidikan tinggi tidak wajib, namun bersifat pilihan, memiliki dampak yang cukup signifikan bagi persepsi masyarakat terhadap pentingnya pendidikan tinggi.
Pernyataan ini dapat menyebabkan kebingungan di kalangan calon mahasiswa dan orang tua mereka.
Sebagian mungkin akan mempertimbangkan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi karena dianggap tidak wajib.
Hal ini dapat berdampak negatif terhadap upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia, mengingat gelar sarjana masih menjadi salah satu syarat penting dalam dunia kerja.
Lebih lanjut, pernyataan tersebut juga berpotensi mempengaruhi jumlah pendaftar ke perguruan tinggi.
Jika masyarakat mulai berpikir bahwa kuliah tidak begitu penting, angka partisipasi dalam pendidikan tinggi bisa menurun.
Penurunan jumlah mahasiswa baru ini tentu saja akan berpengaruh pada pendapatan perguruan tinggi, terutama yang bergantung pada uang kuliah tunggal (UKT) sebagai salah satu sumber pendanaan utama.
Selain itu, berkurangnya jumlah lulusan perguruan tinggi juga dapat berdampak pada kemampuan Indonesia untuk bersaing di pasar global, dimana tenaga kerja berkualifikasi tinggi sangat dibutuhkan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2023 mencapai 5,45%.
Dari jumlah tersebut, lulusan pendidikan tinggi menyumbang angka pengangguran yang signifikan, dengan lulusan sarjana dan diploma masing-masing mencapai 9,36% dan 8,52% dari total pengangguran.
Tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi ini menunjukkan bahwa meskipun memiliki gelar sarjana, masih banyak yang kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka.