Konvensi 1951 memberikan definisi pengungsi yang diakui secara internasional dan menguraikan perlindungan hukum, hak-hak, dan bantuan yang berhak diterima oleh seorang pengungsi.
Adanya Konvensi Pengungsi 1951 juga menjadi dasar kerja UNHCR untuk membantu melindungi pengungsi.
Dalam dokumen tersebut menjabarkan standar minimum dasar perlakuan terhadap pengungsi, termasuk hak atas perumahan, pekerjaan dan pendidikan ketika mereka menjadi pengungsi sehingga mereka dapat menjalani kehidupan yang bermartabat dan mandiri.
Undang-undang ini juga mendefinisikan kewajiban pengungsi terhadap negara tuan rumah dan menetapkan kategori orang tertentu, seperti penjahat perang, yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan status pengungsi.
BACA JUGA:Mahfud MD Minta Bakamla Patroli Cegah Pengungsi Rohingya Masuk Indonesia
Sikap Pemerintah Indonesia
Sebelum saat ini, penduduk Rohingya telah datang ke Indonesia pada tahun 2015. Dan pada saat itu sikap Indonesia menyatakan tetap menampung pengungsi Rohingya atas alasan mematuhi asas non-refoulement.
Meskipun pada saat itu Indonesia tidak terikat dengan Konvensi tahun 1951.
Saat itu, sebanyak 583 WN Myanmar yang merupakan etnis Rohingya terdampar di perairan Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara, Aceh.
Jubir Kemlu RI saat itu, Arrmanatha Nasir, mengatakan bahwa Indonesia tetap memberikan akomodasi meski tak menerapkan sistem non-refoulement.
"Indonesia walau bukan pihak negara yang menerapkan non-refoulement tetap, pertama memberikan shelter dan kedua memberikan makanan. Yang tidak kita lakukan, menaikkan mereka ke kapal dan mendorong ke laut," tutur Arrmanatha dalam konferensi pers di kantor Kementerian Luar Negeri, Jl Pejambon No 6, Jakarta Pusat, 13 Mei 2015.
Menurut pihak Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI), pemerintah Indonesia juga secara konsisten memberikan pertimbangan khusus berlandaskan prinsip kemanusiaan dan aspirasi HAM global, serta menghormati prinsip-prinsip kebiasaan internasional dalam penanganan pengungsi seperti non-refoulement.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri yang dipergunakan sebagai landasan normatif dan koordinatif bagi Kementerian/Lembaga dan dalam penanganan pengungsi dari luar negeri dengan pelibatan peran Pemerintah Daerah.
Perpres tersebut mengatur tahapan penanganan pengungsi di Indonesia pada saat penemuan, pengamanan, penempatan sementara, dan pengawasan keimigrasian.
Adapun menurut Jurnal Opinio Juris oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI, melalui peraturan tersebut, Indonesia menunjukkan komitmennya untuk menangani permasalahan pengungsi dengan memberikan mereka akses dan perlindungan di dalam negeri hingga ditemukan solusi jangka panjang. Meski tidak menjadi pihak dalam Konvensi 1951, Indonesia telah menganut prinsip terpenting di dalamnya, yaitu prinsip non- refoulement (Pasal 33):