KH. Abdullah Aniq Nawawi, LC, M.A, menyampaikan, peradaban kuncinya adalah adanya kerjasama, yakni kerjasama lintas agama, budaya dan lintas negara. Manusia adalah makhluk yang mempunyai naruni untuk mempunyai peradaban. Manusia adalah makhluk peradaban, butuh kerjasama. Peradaban tidak terhambat oleh halangan teologis, jika ada halangan teologis dicarikan solusinya.
“Kiai NU selain ditopang dengan keilmuan pesantren yang luas, sekaligus dalam, juga mempunyai daya visi yang panjang,” tambahnya.
Mantan Ketua PCI NU Maroko ini menjelasakan, ijtihad politiknya para ulama NU adalah canggih, ditopang daya batin yang dalam, contohnya, KH. Wahab Hasbullah pernah keluar dari Masyumi, beliau telah melakukan ijtihad politik.
“Pada peristiwa Muktamar NU 1936, bentuk negara kita adalah Darussalam, bahwasannya kita secara hakikat substansi kita adalah negara yang sudah Islami,” tambahnya.
“Sikap politik NU, ada dua (2) jenis, pertama, politik tingkat tinggi. Politik tingkat tinggi adalah komitmen politik kebangsaan atau politik kerakyatan. Kedua, politik tingkat rendah, politik tingkat rendah adalah jabatan – jabatan strategis politik di legislatif, seperti menjadi Presiden, Wakil Presiden, Gubenur, Wakil Gubenur, Bupati, Wakil Bupati dan lain-lain,” ujarnya.
“Kita harus bangga dengan ulama – ulama Indonesia, banyak karya kitab – kitab kuning berisi tentang siyasah (politik) yang ada di Indonesia, karakter siyasah (politik) nya adalah politik etis, inilah yang membentuk corak berfikir politik di Nusantara, karena sikap Politik NU adalah berasaskan keadilan seperti yang dijelaskan oleh mantan Rais Aam PBNU, KH. A. Sahal Mahfudh dalam kata pengantar buku Ahkamul Fuqaha,” tutupnya.