Kisruh Pengalihan Subsidi BBM Jadi BLT, Ekonom Minta Pemerintah Perhatikan Hal Ini

Kisruh Pengalihan Subsidi BBM Jadi BLT, Ekonom Minta Pemerintah Perhatikan Hal Ini

Antrian SPBU-Disway/Sabrina Hutajulu -

JAKARTA, RADARPENA.CO.ID - Rencana Pemerintah untuk mengalihkan pemberian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi bantuan langsung tunai (BLT) mendapat respon negatif dari kalangan Ekonom dan pengamat.

Pasalnya, kebijakan ini dinilai memiliki risiko tinggi bagi stabilitas sosial-ekonomi masyarakat Indonesia. 

Menurut keterangan Ekonom sekaligus Dosen Universitas Pembangunan Nasional 'Veteran' Jakarta, Achmad Nur Hidayat, ada dua risiko utama yang harus dihadapi Pemerintah apabila recana pengalihan BBM subsidi ke BLT tersebut dijalankan, yaitu soal akurasi data penerima dan risiko ketergantungan yang semakin dalam terhadap subsidi pemerintah.

Selain itu, Achmad menambahkan, penghapusan Pertalite dengan menggantinya menjadi Pertamax Green 92 akan membuat harga BBM semakin mahal bagi masyarakat luas, yang selama ini mengandalkan BBM jenis Pertalite sebagai pilihan yang lebih terjangkau. 

"Kenaikan ini tentu saja akan menambah beban pengeluaran bagi rumah tangga kelas menengah ke bawah, yang bisa memicu ketidakstabilan sosial dan potensi kerusuhan," ujar Achmad saat dihubungi oleh Disway pada Sabtu 2 November 2024.

BACA JUGA:Pemerintah Bakal Alihkan Subsidi BBM ke BLT, Ekonom: Kebijakan Yang Beresiko Tinggi!

BACA JUGA:Jadi Anggota BRICS, Ekonom CELIOS: Fiks Indonesia Bergantung pada China

Melanjutkan, Achmad juga menambahkan bahwa pemberian BLT yang terus-menerus bisa membuat masyarakat semakin bergantung pada bantuan tunai, dan ini adalah masalah struktural yang sulit diatasi dalam jangka panjang. 

Selain itu, ketergantungan ini juga mengurangi insentif masyarakat untuk mandiri secara ekonomi. Mereka yang terus mengandalkan BLT mungkin akan merasa enggan untuk mencari pekerjaan atau usaha tambahan, dan ini bisa menjadi masalah sosial yang mengakar. 

"Ketergantungan yang terus-menerus pada BLT tanpa perbaikan dalam daya beli masyarakat atau peningkatan kesempatan kerja bisa menimbulkan budaya subsidi yang melemahkan daya saing ekonomi nasional," pungkas Achmad.

Achmad juga menambahkan, penghapusan Pertalite dan penggantinya dengan Pertamax Green 92 juga memiliki implikasi serius. Selama ini, Pertalite menjadi pilihan utama bagi masyarakat menengah ke bawah karena harganya yang lebih terjangkau dibandingkan Pertamax. 

"Dengan menggantinya menjadi BBM yang memiliki kandungan etanol, yang harganya tentu lebih tinggi, beban pengeluaran masyarakat akan semakin berat. Kondisi ini sangat merugikan mereka yang tidak termasuk dalam kategori penerima BLT, tetapi tetap harus menghadapi kenaikan harga BBM," jelas Achmad.

Menurut Achmad, situasi ini bisa memicu ketidakpuasan di masyarakat, yang bahkan berpotensi menimbulkan kerusuhan sosial jika tidak dikelola dengan baik. Kenaikan harga BBM dapat berdampak langsung pada biaya hidup sehari-hari, seperti transportasi, kebutuhan pokok, dan biaya produksi barang lainnya.

(Bianca Khairunnisa).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: