JAKARTA, RADARPENA.CO.ID - Pemerintah mewacanakan akan memisahkan penghitungan umpah minimum provinsi (UMP) ke dalam dua kelompok, yaitu industri padat modal dan industri padat karya.
Wacana pemisahan UMP menjadi dua kelompok industri padat karya dan industri padat modal direspon oleh para Ekonom dan Pengamat.
Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional 'Veteran' Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan pemerintah harus bisa memberikan keseimbangan dan keadilan dalam penetapan UMP.
Terlebih di tengah perlambatan ekonomi saat ini, sehingga bisa memberikan kesejahteraan pekerja dan keberlangsungan usaha.
"Kenaikan UMP harus mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, produktivitas, dan kondisi spesifik industri," ujar Achmad ketika dihubungi radarpena.co.id grup disway.id pada Rabu 27 November 2024.
BACA JUGA:
- Bertentangan dengan Putusan MK, Buruh Tolak Rumusan Penetapan UMP Pemerintah
- Terbaru! Ini Rumus Formula Perhitungan Kenaikan Upah Minimum Provinsi 2024: Ada 3 Variabel, Apa Saja?
Dalam hal ini, Achmad mencontohkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2023, dimana penetapan UMP mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi.
"Dalam situasi perlambatan ekonomi, kenaikan UMP yang terlalu tinggi dapat membebani pengusaha dan berpotensi mengurangi daya saing industri," tutur Achmad.
Sebaliknya, Achmad menilai bahwa kenaikan yang terlalu rendah mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak pekerja. Oleh karena itu, diperlukan dialog antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja untuk mencapai kesepakatan yang seimbang dan berkeadilan.
"Penggolongan UMP berdasarkan padat karya dan padat modal, jika diterapkan dengan baik, akan menciptakan keseimbangan antara kebutuhan pekerja dan keberlanjutan usaha," pungkas Achmad.
Dalam konteks tenaga kerja, kebijakan penggolongan UMP memberikan fleksibilitas yang dibutuhkan untuk menciptakan keadilan. Industri padat modal, dengan pekerja yang umumnya memiliki keterampilan tinggi, dapat didorong untuk memberikan upah lebih besar, sehingga memperkuat daya beli dan kesejahteraan pekerja.
Di sisi lain, sektor padat karya tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar pekerjanya tanpa membebani kapasitas finansial perusahaan secara berlebihan. Penggolongan ini juga membuka ruang dialog yang lebih intensif antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja.
"Dengan melibatkan semua pihak dalam proses penentuan, kebijakan pengupahan dapat dirancang secara inklusif, berbasis data, dan mencerminkan kondisi riil di lapangan," ucap Achmad.(bianca)