Meskipun waktu itu ada instruksi larangan untuk tidak menampung pengungsi Rohingya karena akan membawa masalah, masyarakat Aceh berdiri tegak membantu Rohingya.
Namun demikian, Tgk Muhajir menyebut sejak banyak masalah sosial dan moral muncul dari pengungsi Rohingya, kepercayaan masyarakat Aceh terhadap Rohingya pudar.
Rohingya tidak lagi dipandang sebagai kelompok yang perlu perhatian.
Maka, kedatangan berikutnya ditolak secara massal oleh masyarakat lokal di Aceh.
"Dalam konteks ini, perasaan masyarakat Aceh terganggu karena beberapa masalah sosial yang dimunculkan Rohingya".
"Secara antropologis, di sini berlaku konsep ke-Aceh-an, Nyoe Hana teupeh dumpu tatume rasa, nyo Ka teupeh Bu leubeh Hana gepeutaba (apabila tidak menyakiti hati (perasaan)".
"Masyarakat Aceh semuanya diberikan kepada siapa pun, namun sebaliknya hatinya sudah tersakiti bahkan sisa nasi saja diminta tidak akan pernah diberikan," paparnya.
Pesan kebudayaan, agama, dan ke-Aceh-an orang Aceh kata Muhajir, tidak boleh luntur hanya karena ada beberapa orang Rohingya di penampungan yang kerap membawa masalah.
"Masyarakat Aceh sebagai masyarakat yang cukup menghormati tamu, identitas ke-Aceh-an tentu tak boleh luntur dalam memperlakukan masyarakat Rohingya yang terdampar ke Aceh," ulasnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, arus kedatangan pengungsi Rohingya bisa dilihat sebagai problem nasional dan global, baik dari sisi kemanusiaan maupun politik internasional.
"Dalam konteks kemanusiaan, kondisi yang dihadapi Rohingya yang mendorong mereka pindah dari negara asalnya harus dipahami sebagai ekses dari dinamika politik di Myanmar," ungkap Tgk Muhajir.
Antropolog lulusan UGM itu menyebut, kehadiran Rohingnya ke Aceh saban waktu disebabkan karena jalur maritim Aceh yang terhubung ke lautan Andaman.
Kondisi ini memungkinkan perahu yang ditumpangi ratusan pengungsi Rohingya kerap terdampar ke Aceh.