Pada kondisi itu, Sri Mulyani mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan tajam hingga 13 persen. Bahkan, dalam proses pemulihannya belum bisa berjalan dengan cepat.
Dalam kondisi itu, pemerintah RI melakukan reformasi perbankan dengan membentuk bank sentral dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Kami juga memiliki reformasi investasi. Kami juga mempunyai instrumen utang yang baru kami buat, karena tiba-tiba pada saat itu karena biaya dana talangan (bailout) sistem perbankan," ungkapnya.
Pada posisi ini, Kementerian Keuangan yang biasanya melakukan pinjaman bilateral dan multilateral, jadi bisa memiliki obligasi. Menurutnya, ini jadi momen yang tak bisa dilupakan.
Lebih lanjut, Sri Mulyani mengatakan proses reformasi keuangan ini jadi cikal bakal Undang-undang Perbendahataan dan Undang-undang Keuangan Negara yang baru.
"Bisa dibayangkan perjalanan tahun 1997-1998 yang banyak reformasinya dimulai pada awal tahun 2000 hingga saat ini, 23 tahun perjalanan Indonesia dalam reformasi tersebut," ujarnya.
Setelah 10 tahun berselang, Indonesia diuji kembali oleh hadirnya pandemi Covid-19. Meski guncangan datang dari sisi kesehatan, namun anggaran dan keuangan negara pun ikut terdampak besar.
"Kita mengalami guncangan besar lainnya, yaitu pandemi yang baru saja menghancurkan seluruh dunia, seperti halnya keuangan global dan Indonesia yang terus bertahan," jelas Sri Mulyani.
Menurutnya, angka pertumbuhan itu dapat memvisualisasikan mimpi Indonesia melaju menuju Indonesia emas 2045.
Untuk menangkap momentum tersebut, Menkeu juga mengungkapkan bahwa pemerintah berupaya untuk terus membangun sumber daya manusia, produktivitas, dan Inovasi.
“Ketiganya bisa terjaga dan tumbuh dengan baik selama kesehatan fiskal kita terjaga dengan baik. Inilah yang menjadi tugas kementerian keuangan menjaga kesehatan alat fiskal kita supaya mampu menyelesaikan beragam isu seperti stunting, infrastruktur, hingga perubahan iklim dan permasalahan lainnya,” tandasnya.