JAKARTA, RADARPENA.CO.ID - Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa MK menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Hal itu karena mahkamah menilai pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Adapun, perkara nomor 141/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Brahma Aryana, bersama kuasa hukumnya yakni Viktor Santoso Tandiasa.
Dia menjelaskan bahwa pemohon dalam perkara nomor 90 berpendapat bahwa Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu bertentangan dengan hak konstitusionalnya.
Sementara itu, dirinya menilai bahwa pendapat ini tidak tepat karena hak konstitusional tidak seharusnya digunakan sebagai dasar pengujian norma pasal tersebut.
BACA JUGA:
- Profil Zivanka: Lulusan Termuda ITB dari Program Studi Teknik Mesin yang Baru Berusia 19 Tahun
- Catat! Jadwal Lengkap Debat Capres Cawapres 2024 Terbaru yang Diumumkan KPU
- Prakiraan Cuaca BMKG 30 November 2023, Laporan BPBD Jakarta: 'Sejumlah Pintu Air Kondisi Siaga'
Brahma berharap hanya gubernur yang belum berusia 40 tahun yang bisa maju capres/cawapres, dan tidak berlaku untuk kepala daerah di bawah level gubernur.
"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 20l7 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No 90/PUU-XXV2A23 terhadap frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi'. Sehingga bunyi selengkapnya 'Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi'," demikian bunyi permohonan Brahma.
Terkait hal itu, MK menyoroti putusan MKMK yang tidak bisa mengomentari atau menilai substansi putusan MK.
Oleh karena itu, MK menyebut tidak ada pilihan lain selain menegaskan bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Dari putusan MKMK dimaksud, telah membuktikan dan menegaskan bahwa MKMK tidak sedikit pun memberikan penilaian bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah cacat hukum, tetapi justru menegaskan bahwa putusan dimaksud berlaku secara hukum dan memiliki sifat final dan mengikat," ucap Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh membacakan pertimbangan MK.
Dengan demikian, dalil pemohon terkait putusan 90/PUU-XXI/2023 dianggap tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
MK memandang tepat jika hal ini diserahkan kepada pembentuk UU untuk menilai dan memutuskannya.
BACA JUGA:
- Heboh! Warga Kembangan Jakarta Barat Digegerkan Temuan Bunga Bangkai di Tumpukan Sampah
- Kecewa! Joe Biden Minta Maaf ke Palestina dan Pimpinan Islam AS: Saya Janji Akan Berbuat Lebih Baik!
- Kejengkelan Megawati: 'Penguasa Saat Ini Ingin Bertindak Seperti Pemerintah Orde Baru'
Putusan syarat tersebut menuai banyak sorotan lantaran dianggap untuk mempermudah Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang juga anak Presiden Joko Widodo sekaligus keponakan Hakim Konstitusi Anwar Usman (saat itu menjabat sebagai Ketua MK) ikut serta di Pilpres di 2024 meski usianya belum 40 tahun.
Putusan 90 itu mengundang pro dan kontra di masyarakat. Sejumlah pihak bahkan mengajukan protes dan laporan dugaan pelanggaran kode etik kepada Majelis Kehormatan MK (MKMK) terkait putusan itu.