Kemendagri Respon Putuskan MK Soal Pidana Penjara Bagi PNS, TNI-Polri yang Tak Netral di Pilkada

Kemendagri Respon Putuskan MK Soal Pidana Penjara Bagi PNS, TNI-Polri yang Tak Netral di Pilkada

Putusan MK, ASN tak netral di Pilkada dipidana penjara dan denda--menpan.go.id

JAKARTA, RADARPENA.CO.ID - Pemerintah merespon putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal PNS atau ASN serta TNI dan Polri yang tak netral dalam Pilkada dipidana penjara dan denda.

Wakil Kementerian Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengatakan putusan MK soal hukuman bagi ASN, pejabat daerah, dan TNI/Polri yang tidak netral pada pilkada menjadi masukan.

Dikatakannya pihaknya akan mengevaluasi sistem kepemiluan di tanah air.

"Jadi, yang pasti ini menjadi masukan untuk mengevaluasi sistem kepemiluan," kata Bima usai rapat bersama Komisi II DPR dan sejumlah penjabat kepala daerah lainnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 18 November 2024.

Bima tak menampik bahwa mengevaluasi sistem kepemiluan guna mencegah pelanggaran netralitas aparat negara menjadi suatu urgensi bagi Kemendagri.

BACA JUGA:

"Ke depan salah satu urgensi dari mengevaluasi sistem pemilu, pilkada, adalah untuk mencegah ketidaknetralan ini. Semua kan ada kaitan dengan sistem seperti apa," ucapnya.

Ia mengatakan bahwa Kemendagri siap menjalankan putusan MK tersebut sebab bersifat final dan mengikat (final and binding).

"Tentu kami ya harus laksanakan itu," ujarnya.

Namun, Bima menambahkan bahwa untuk memperkuat netralitas aparat negara dalam pelaksanaan pesta demokrasi tidak serta merta ditempuh melalui jalur pemberian sanksi.

"Netralitas ini kan tidak hanya lewat sanksi saja ya, tetapi lewat bangunan sistem," katanya.

BACA JUGA:

Pada Kamis (14/11), Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan terkait sanksi bagi aparatur sipil negara (ASN), pejabat desa, pejabat daerah, pejabat negara, serta aparat TNI-Polri yang melanggar netralitas dalam proses pilkada.

Putusan MK memungkinkan dikenakannya sanksi kepada pelanggar berupa pidana penjara dan denda hingga Rp6 juta sesuai Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: