Dinilai Merugikan! APRINDO Desak Pemerintah Bikin Regulasi Bisnis Jastip

Dinilai Merugikan! APRINDO Desak Pemerintah Bikin Regulasi Bisnis Jastip

Jastip dianggap meresakan dan merugikan negara, sehingga pemerintah didesak untuk membuat regulasi yang mengatur bisnis ini--Freepik

JAKARTA, RADARPENA.CO.ID - Semakin menjamurnya usaha jasa titipan (jastip) di masa sekarang ini telah menarik perhatian Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).

Aprindo menilai bahwa usaha jastip yang semakin luas di Indonesia ini sudah dianggap ilegal dan bahkan bisa merugikan negara.

Atas dasar hal itu, Aprindo meminta kepada pemerintah untuk membuat regulasi untuk usaha jasa titipan atau jastip ini.

Menurut Roy Nicholas Mandey selaku Ketua Umum dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyampaikan bahwa usaha jastip bisa dimasukan ke dalam kategori black market.

Hal tersebut dikarenakan barang yang masuk ke Indonesia tanpa membayar bea masuk alias tidak melalui jalur yang resmi.

 

Roy menjelaskan bahwa barang-barang yang memiliki nilai dengan usaha jastip ini tidak dikenakan pajak. 

"Baju mahal, tas mahal, elektronik mahal dimasukkan ke dalam tasnya, kargonya, seolah-olah barang milik sendiri padahal begitu keluar bandara sudah ada yang ambil dan lewatlah pajaknya," kata Roy dalam konferensi pers, Kamis 18 Januari 2024. 

Roy menegaskan, dirinya tidak mempermasalahkan apabila ada pihak yang menjalankan bisnis jastip ini. Namun tetap saja usaha jasa titipan ini perlu ada diatur melalui mekanisme serta juga pengawasan agar tidak merugikan negara serta ritel dalam negeri.

Dirinya mengungkapkan barang-barang yang kerap dibawa masuk oleh jastipers ke Tanah Air sebetulnya juga dijual di gerai-gerai peritel. 

Oleh karena itu, peritel mempertanyakan keputusan pemerintah untuk memperketat impor barang legal, alih-alih mengatur usaha jastip.

Peritel juga pesimistis ekonomi Indonesia dapat tumbuh hingga 6% jika pemerintah membiarkan usaha jastip merajalela tanpa adanya pengaturan yang jelas.

"Makanya kita tidak akan tumbuh lebih dari 5%, karena tidak ada substansi, malah menggerus yang sudah ada, dan yang ilegal malah semakin marak, merugikan negara tentunya dan juga merugikan pelaku usaha yang resmi," tuturnya. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: