Cerpen Karya Redaksi: Apa Kabar Sahabat?

Cerpen Karya Redaksi: Apa Kabar Sahabat?

Cerpen Redaksi: Apa Kabar Sahabat?--

JAKARTA, RADARPENA.CO.IDHilda, saudaraku yang kusebut pertama ini adalah si mungil dengan jiwa yang besar. Jangan salah mengira kawan, karena ia adalah sosok yang mampu menjadi kakak bagi kami bertiga yang lain.

Sisil, dengan wajah imut dan polosnya membuai aku dengan cemerlang otaknya. Senyumnya saja mampu menghangatkan jiwa yang resah dan diliputi kegalauan.

Rini, meski tiada yang menyangka dibalik sifatnya yang seperti kaum pria mampu menyadari sosok lembut dan cantiknya sebagai titisan hawa. Memang tiada rasa diriku padanya, namun dialah yang mampu membuat aku nyaman berada diantara duniaku. Dahulu, aku bukan sosok yang seperti saat ini, dimana hanya dunia terbatas yang mampu kusadari dan yakini. Menjalani semua dalm fantasiku saja dan tiada teman yang dapat kusebut sebagai saudara.

Bintang, boleh dibilang ia tak memiliki kemampuan bela diri atau semacamnya yang mampu menonjolkan sisi prianya. Tapi kebijaksanaan yang dimilikinya mengalahkan bocah – bocah pria seusianya. Ia sanggup  menjadi sosok Penghibur di kala duka, Penyemangat di kala putus asa, Pembela di saat lemah dan Penasehat di saat kami membutuhkan jalan terbaik.

Dimulai dari tangisku semenjak mengenal dunia hingga masaku mampu berlari meraih tangan Ayah – Bundaku. Itulah takdirku sebagai anak semata wayang. Tanpa saudara, tanpa teman dan kawan. Awalnya semua terasa amat asing bagiku. Musuh dan kawan aku tak mampu membedakan dan dimana fantasiku berada disitulah aku membuat diriku dapat diakui.

Tiada yang sangka hal itu akan terjadi diantara kami semua. Dimana masing – masing kami hanya bagai pion – pion kecil yang berdiri tanpa pendamping atau kenalan satu sama lain.

Latar belakang kami pun berbeda. Si Kaya dan orang biasa, Pandai dan Rajin, Cina dan Jawa.

Tapi itulah takdir, dimana mengenai PERSAHABATAN semua tidak memiliki rumusan pasti.

Kami pertama kali bertegur sapa pada saat SD. Tentunya lingkungan sekolah merupakan hal yang amat asing bagi kami jika berada di luar rumah. Siapa yang dapat kami bicara. Guru tampil sebagai profesi yang hanya memberi tugas rumah pada kami sepulang sekolah. Kepala Sekolah menjadi sosok yang paling kami takuti saat menyusuri koridor dan melihat masing – masing kegiatan mengajar di kelas. Jangankan kami yang saat itu hanya sebagai murid, guru – guru saja memberikan senyuman bisa jadi hanya sebatas senyum palsu sebagai tindakan hormat kepada atasan mereka.

Sekolah menjadi tempat yang paling menakutkan bagi kami daripada rumah hantu manapun. Bukan setan yang kami takuti, melainkan Guru dan Kepala Sekolah kami. Hampir setiap hari, tiada pernah tas ransel kami tidak penuh dengan Tugas Sekolah, Bekal dan berderet – deret Agenda untuk persiapan esok. Sekolah seakan menjadi medan pertempuran bagi kami yang tiada berakhir.

Namun justru memang itulah jalannya. Karena jika tanpa medan pertempuran itu maka aku tidak akan bertemu sahabat – sahabatku.

Saat aku mengalami kesulitan disana aku dapat menyapa mereka. Mereka menjawab sapaanku dan saling bicara membuat kami terbuka satu sama lain. Awalnya kuanggap bergaul dengan wanita adalah suatu hal yang memalukan bagi kaum pria. Dan wanita yang dapat kupercaya hanyalah ibuku saja. Namun semua berubah saat aku bertemu Hilda, Sisil dan Rini. Mereka bertiga menjadi kawanku yang pertama kali mengulurkan tangan saat aku membutuhkan pertolongan. Dan saat mereka membutuhkan sosok seorang pria disanalah aku dapat membela mereka. Itulah sisi dan bagian dimana kami dapat saling melengkapi satu sama lain. Berada di sekolah menjadi suatu ajang pertunjukan bagi kami untuk uji kemampuan. Dimana menuntut ilmu tak lagi menjadi suatu beban. Kemudian muncul pula Bintang, yang pada saat itu menjadi murid baru di sekolah kami. Menjadi teman sekelas siswa asing bukanlah suatu hal yang membosankan. Karena dari dialah kita dapat memahami arti budaya yang mereka miliki tak sebatas budaya kita. Setidaknya itu yang aku rasakan sebagai pengalaman pertama.

Sekolah tak lagi menjadi medan pertempuran yang menyebalkan bagi kami. Dunia juga tidak menjadi hanya sebatas dinding sekitar rumah saja.

Namun, akupun teringat saat Hilda memiliki nenek yang sedang jatuh sakit saat itu.

“ Eh, Dion kamu udah dengar belum kalau nenek si Hilda masuk Rumah Sakit Lavalette karena lemah jantung. “ tanya Rini padaku.

“ Ya, aku sudah tahu. Aku berencana untuk menjenguk ke sana Cuma aku tidak tahu di kamar nomor berapa. Apa kalian sudah Tanya info lebih lengkapnya ke Hilda ? “

“ Sudah. Barusan aku telepon dia kemarin, karena aku cemas dengan keadaannya dan ingin menanyakan kenapa dia beberapa hari tidak masuk sekolah. Dan katanya ia harus ijin untuk membantu orang tuanya menjaga neneknya di rumah sakit. “ jawab Sisil.

“ Kalau begitu, hari ini sudah tepat 3 hari dia belum masuk sekolah. Gimana kalau kita ke sana setelah pulang sekolah nanti karena kabarnya guru – guru akan ada penataran sehingga siswa – siswa dipulangkan lebih awal. “ jawabku.

“ Lalu jangan lupa ajak juga si Bintang ! “ sahut Rini.

“ Beres. Nanti akan kuajak dia. Tapi sekarang dia masih sibuk nunggu nasi goreng di Bu Mijah, lihat aja tuh, kantin masih penuh kayak gitu. “

Begitulah sepulang sekolah kami berempat sepakat untuk langsung menjenguk nenek Hilda di rumah sakit. Namun karena uang jajan kami yang pas – pasan saat itu tentunya kami tidak sempat membawakan sesuatu yang istimewa. Hanya beberapa kilo buah jeruk saja yang bisa kami beli dengan urunan uang jajan kami berempat.

Untungnya masih tersisa sedikit rupiah untuk kami pulang nantinya. Dan kami kira itu sudah cukup mengingat kami masih belum bisa cari uang sendiri.

Sesuai informasi yang diberikan Hilda pada Sisil kami pun langsung masuk ke Rumah Sakit dan sambil celingak – celinguk kami mencari seseorang atau petugas yang dapat membantu kami memberikan informasi.

Di sudut pintu, ada satpam jaga. Kami pun bertanya pada satpam itu dan beliau mengantar kami menuju Bagian Informasi. Dan dari sanalah kami dapat menemui kamar tempat nenek Hilda dirawat.

Kami ketuk Pintu dan kemudian bersama- sama masuk perlahan. Di situ kami melihat Hilda sedang duduk di samping neneknya yang rupanya sedang istirahat. Si nenek sempat melihat kami dan menyuruh kami mendekat. Satu persatu kening kami dikecupnya. Dan beliau terharu melihat kami menjenguknya. Kami pun tersenyum dan menyembatkan doa kami untuk kesembuhan nenek sesegera mungkin.

Di sana kami bercakap – cakap pula dengan Hilda. Dan memang saat itu ia benar –benar dalam situasi yang rumit. Ayahnya yang seorang militer dengan pangkat mayor sedang bertugas dinas di luar negeri. Sedangkan ibunya juga masih harus mengurus pekerjaan kantor sebagai seorang arsitek. Adiknya yang masih kecil juga tidak dapt begitu saja dipasrahkan pada pembantu. Dan saudara saudara yang lain berada di luar kota yang jauh dan harus mengatur dulu jadwal untuk bisa datang ke Malang.

Hilda pun cemas mengingat ujian sekolah juga akan berlangsung dalam beberapa bulan ke depan.

“ Tenang aja Hil, kamu bisa pinjam catatanku nanti untuk kamu foto copy. Dan soal – soal matematika sudah aku catat di sini buat kamu. “ kata Rini.

“ Nih, aku juga bawakan sekalian catatan tugas dari Pak Seno untuk pelajaran sejarah. Sebenarnya, semua jawaban sudah ada di buku paket kok. “ kataku.

“ Kalau kamu butuh waktu belajar bareng, telepon aku aja, nanti aku pasti langsung datang ke rumahmu. “ kata Sisil.

“ Enak aja kamu Sil, aku kan juga bisa datang dan belajar bareng kalian. Rumahku kan juga deket. “ sahut Bintang.

“ Makasih ya teman – teman. Aku nggak bisa bayangin kalau nggak dibantu kalian dalam hal ini, aku bisa kebingungan saat ujian nanti. “ jawab Hilda.

 “ Yang pasti, kamu bakal bingung untuk baca tulisan Rini. Soalnya, tulisan sama ceker ayam nggak ada bedanya. Mesin foto copy aja bakal error bacanya. “ sahutku bercanda.

Kamipun tertawa dengan hal itu.

Dan beberapa waktu setelah itu kondisi kesehatan nenek Hilda pun membaik dan dibolehkan untuk rawat jalan. Hilda pun dapat mengikuti Ujian Sekolah dengan mantap. Kami ber – lima dapat lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.

Tidak ada senyuman bahagia selain saat kebersamaan kami saat itu. Itulah momen yang sangat berkesan dan melekat di hati bahkan disaat kami menghadapi tahun – tahun perpisahan.

Menginjak masa dimana kami harus bertukar seragam dari putih – merah menjadi putih – biru, adalah kisah yang haru bagi kami ber – lima. Hilda memutuskan untuk masuk di sekolah Negeri. Bintang pindah sekolah karena orang tuanya pindah tugas di luar kota sehingga dia juga harus ikut pindah.

 “ Ini semua bukan akhir kan. Karena kita akan bertemu lagi. “ kataku di suatu malam saat itu.

Kebetulan kami berlima sedang mengadakan perpisahan untuk kelompok kecil kami dengan masa SD kami. Mau tidak mau, kami memang harus beranjak dewasa. Dan semakin kami dewasa maka jenjang dan langkah yang harus kami tempuh juga semakin jauh.

“ Tentu saja. Selamanya kita saudara. Selamanya kita sahabat. Dan nggak ada yang bisa pisahkan kita sampai mati. “ sahut Rini.

Sisil, Hilda dan Bintang pun menggangguk setuju.

“  Aku akan rindu pertengkaran dengan kalian, dan terutama pukul lengan Bintang. “ kataku.

“ Aku juga nggak akan lupa untuk ngomel sama Dion saat dia pukul lenganku yang buat tanganku jadi ngilu, juga bantah – bantahan sama Rini waktu ngomong soal tomboy. “ kata Bintang.

“ Aku nggak pernah suka dibilang tomboy, aku ini cewek tulen kok. “ jawab Rini dan membuat kami semua tertawa.

“ Kita dan terutama aku nggak akan bisa lupa waktu Hilda bikin kue nastar yang nggak enak banget waktu disuguhin ke kita saat lebaran di rumahnya. “ kata Sisil.

“ Hil, aku kangen kue nastar gosongmu, jangan lupa kirimin buat kita ya tiap lebaran. “ sahutku.

“ Aku nggak akan lupa semua waktu yang sudah kita lalui bareng, mulai dari kita kenal sampai mala mini. Termasuk semua canda dan ejekan kalian.” Kata Hilda sambil tertawa dan menangis haru. “ Selamanya kalian saudaraku. “

Hilda memberikan jari kelingkingnya ke depan disambut dengan jari kelingkingku, Sisil dan yang lainnya. Itulah cara kami berjanji dan mengikat tali persaudaraan.

Sahabat, membuat kita mampu menguatkan satu sama lain. Dan kehilangan sahabat seperti kehilangan air di  gurun gersang. Itulah makna Sahabat. Bagaimana kabar sahabat nian di luar sana ?

 

Penulis: Mikhael A. Dimas Satriyo

Link Baca >> Klik Disini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: