Terjemahan:
“Yang berhak menjadi imam adalah orang yang paling fasih membaca Kitabullah (Al-Qur'an). Jika mereka sama dalam bacaan, maka orang yang paling memahami sunnah...” (HR. Muslim, no. 673)
Kriteria ini menegaskan bahwa yang utama adalah penguasaan agama, bukan kondisi fisik.
BACA JUGA:
- 6 Rekomendasi Wisata Religi Terbaik di Provinsi Lampung, Ada Makam Syekh Gholib di Pringsewu
- Kumpulan Doa Pendek Mohon Kesembuhan Anak: Lengkap Arab dan Latin dan Artinya
Pendapat Ulama
1. Ibn Qudamah (Mazhab Hanbali)
Dalam kitab Al-Mughni, Ibn Qudamah memberikan analisis tentang kebolehan seorang buta menjadi imam:
النظر في الإمام فيكون القوم أحق بالفضل وقد استدل الإمام أحمد رضي الله عنه بما ذكره أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم استخلف ابن أم مكتوم في الصلاة وهو أعمى. فدل ذلك على صحة إمامته وأنه لا كراهة فيها.
Terjemahan:
"Ketika mempertimbangkan seorang imam, maka jamaah lebih mengutamakan keutamaan (agama dan bacaan). Imam Ahmad (rahimahullah) berdalil dengan hadis Anas bahwa Nabi SAW menunjuk Ibn Umm Maktum sebagai imam, padahal dia buta. Ini menunjukkan keabsahan dan tidak adanya kemakruhan dalam hal tersebut." (Al-Mughni, 2/13)
Ibn Qudamah menekankan bahwa tidak ada syarat dalam syariat yang melarang seorang buta untuk menjadi imam karena kebutaan tidak mengurangi keabsahan ibadah.
2. An-Nawawi (Mazhab Syafi'i)
An-Nawawi dalam Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab menyatakan:
وَاتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَى أَنَّ الْعَمَى لَا يَمْنَعُ صِحَّةَ الْإِمَامَةِ، بَلْ لَا يُكْرَهُ، وَهُوَ قَوْلُ جَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ.
Terjemahan:
"Para ulama sepakat bahwa kebutaan tidak menghalangi keabsahan seorang menjadi imam, bahkan tidak makruh. Ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama." (Al-Majmu', 4/181)