JAKARTA,RADARPENA.CO.ID - Himpunan guru besar, akademisi, ilmuwan politik, ahli hukum tata negara, dan aktivis 98 menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Demo yang berlangsung mulai pukul 10.00 WIB ini merupakan bentuk dukungan terhadap Mahkamah Konstitusi atas pembangkangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hendak menganulir putusan MK.
Massa demonstrasi yang dipimpin oleh Alif Iman ini berhenti tepat di depan gedung MK.
Dalam aksinya, mereka meneriakkan seruan seperti "Turunkan Jokowi, selamatkan demokrasi!" berulang kali sambil berjalan.
BACA JUGA:Dewan Guru Besar UI: Indonesia Krisis Konstitusi
Forum Guru Besar, akademisi, pro demokrasi, masyarakat sipil dan aktivis 98 ini turut membawa sejumlah poster untuk menyuarakan protes mereka.
Poster tersebut bertuliskan, "MK itu solusi, jangan lu lagi lu lagi", "Hidup mahasiswa", "Save MK, jangan begal konstitusi", "Demokrasi di titik nadir", dan "Lawan komplotan pembegal konstitusi".
Selain para guru besar dan akademisi, sejumlah mahasiswa juga turut hadir dalam aksi ini. Dosen Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun turut memberikan orasi tentang kekhawatirannya atas kondisi demokrasi Indonesia saat ini, yang dianggap berada di titik nadir.
“Hari ini kita berkumpul untuk memberikan dukungan yang sangat besar dari seluruh rakyat dan para guru besar di akademisi bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi itu adalah keputusan yang demokratis dan keputusan yang konstitusional,” kata Ubedilah di depan gedung MK, Kamis pagi.
Forum itu menilai bahwa pembangkangan DPR terhadap putusan MK adalah bentuk ancaman serius terhadap demokrasi dan konstitusi Indonesia. Demonstrasi ini juga mempertegas komitmen para akademisi dan aktivis untuk terus mengawal proses demokrasi di Indonesia dan memastikan bahwa lembaga negara, termasuk MK, tetap berfungsi sesuai dengan konstitusi.
Demo ini dilatarbelakangi oleh putusan MK yang sebelumnya memutuskan untuk membatalkan sejumlah undang-undang kontroversial yang disahkan oleh DPR. Namun, DPR dinilai mengabaikan putusan tersebut dan tetap melanjutkan agenda legislatifnya tanpa memperhatikan keputusan MK. Hal ini memicu kemarahan publik dan menjadi salah satu alasan utama dilakukannya unjuk rasa besar-besaran hari ini.
BACA JUGA:Ikut Suarakan 'Peduli Pilkada 2024', Raditya Dika Didukung Puluhan Artis Jadi Trending Topic di X
Badan Legislasi (Baleg DPR) mendorong agar draf rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota disahkan dalam rapat paripurna hari ini, Kamis, 22 Agustus 2024. RUU Pilkada itu bakal disahkan yang akan menganulir putusan MK soal syarat pemilihan kepada daerah.
Padahal sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa, 20 Agustus 2024 telah memutuskan ambang batas Pilkada akan ditentukan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait. Putusan itu termuat dalam putusan MK 60/PUU-XXII/2024.