JAKARTA, RADARPENA - dr. Cipto Mangunkusumo dikenal sebagai dokter handal dan seorang pejuang yang memerangi kolonial Belanda. Bagi Cipto, tidak ada kompromi bagi penjajahan pihak Belanda.
Sikap pemberontak terhadap kolonialisme itu sudah tertanam semenjak Cipto menjadi seorang dokter. Tujuannya untuk mengobati penyakit kolonial dengan semangat revolusioner.
Cipto Mangunkusumo lahir di Ambarawa, Jawa Tengah tahun 1886. Ia adalah anak tertua dari sebelas bersaudara. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah dan juga guru bahasa Melayu. Dari ayahnya, Cipto sangat menghargai pendidikan dan bersama sebelas saudaranya mampu mengenyam pendidikan tinggi.
Cipto tumbuh menjadi pemuda yang kritis, merdeka dan cerdas. Hal ini dibuktikannya dengan menjadi mahasiswa di sekolah pendidikan dokter Bumiputra, School tot Opleiding van indische Artsen (STOVIA). Ia menghabiskan banyak watu kuliahnya dengan membaca buku dan berpikir.
BACA JUGA:Pemkot Bekasi Hadir di Acara Peresmian Kantor Sekretariat AWPI DPC Kota Bekasi
Pada saat itu, banyak pemuda seusianya yang memantaskan diri dengan kehidupan kolonial atau priayi. Namun, Cipto justru terpesona oleh rasa keadilan. Ia dengan cepat menyelesaikan pendidikan dokternya di STOVIA pada tahun 1905.
Tak lama setelah Cipto menjadi dokter, wabah PES menyerang daerah Malang, Jawa Timur. Ia menawarkan diri sebagai relawan untuk mengatasi wabah tersebut. Dan dr. Cipto berhasil mengendalikan wabah PES tersebut.
Mendapat Medali Ridderkruis of the Oranje-Nassau Order
Berkat Jasanya inilah, Ratu Belanda Wilhelmina, pada tahun 1912 menganugerahi dr. Cipto Mangunkusumo Medali Kehormatan Ridderkruis of the Oranje-Nassau Order, atas keberhasilannya mengatasi wabah penyakit PES di Malang, Jawa Timur.
BACA JUGA:Target 1000 Wifi di Bekasi Akan Tercapai Agustus
Medali itu diberikan kepada dr. Cipto Mangunkusumo lewat Gebernur Belanda yang berkuasa di Jawa Timur saat itu.
Namun, menariknya dr. Cipto Mangunkusumo tidak menyematkan medali itu di dada atau di pundaknya, akan tetapi di bagian (maaf) bokongnya.
Diketahui, orang yang menerima medali, akan mendapatkan perlakuan khusus atau penghormatan ke arah medali. Sehingga tidak ada yang berani menegur atau melakukan sesuatu kepada dr. Cipto Mangunkusumo.
Setiap pejabat atau prajurit yang bertemu dengan dr Cipto Mangunkusumo akan memberikan penghormatan ke arah bokongnya.
BACA JUGA:Buruan Cek! Gelombang Ke 54 Kartu Prakerja Sudah Dibuka, Simak Cara Pembuatan Akun Serta Syarat Mendaftar
Setelah setahun sejak pemberian medali itu, dr Cipto Mangunkusumo memutuskan untuk mengembalikan medali itu kepada Ratu Belanda sebagai bentuk perlawanan dan lambang menentang penjajahan Belanda terhadap Indonesia.
Jika saja dr. Cipto Mangunkusumo mau memanfaatkan prevellege medali itu, Ia akan hidup mewah dibawah kekuasaan sang Ratu Belanda. Namun, hal itu tidak dilakukannya, Ia tidak mau menjadi budak di rumahnya sendiri.
Banyak sekali bentuk perlawanan dr. Cipto Mangunkusumo terhadap Belanda. Ia mengatakan “obatnya” cuma satu: semangat perlawanan. Tjipto menjadikan Pangeran Jawa Diponegoro sebagai contoh orang Jawa yang berani melawan Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830). Perlawanan Diponegoro, kata Tjipto menyiratkan makna bahwa orang Jawa dapat memutus mitos sifat selalu patuh yang cenderung berucap “ya” atau “amin.” Tijpto mendorong agar kalimat-kalimat itu diganti menjadi "lawan!"***