IHSG Anjlok Lagi, Pengamat Soroti Peran Lembaga Keuangan

IHSG Anjlok Lagi, Pengamat Soroti Peran Lembaga Keuangan

IHSG terus mengalami penerunan-Bianca-radarpena.co.id Disway group

JAKARTA, RADARPENA.CO.ID - Pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mengguncang perekonomian Indonesia, memicu kekhawatiran di berbagai sektor. 

Sejumlah pihak pun menyoroti peran lembaga keuangan seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bursa Efek Indonesia (BEI), dan Bank Indonesia (BI) dalam mengantisipasi situasi ini.

Menurut Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, tekanan terhadap IHSG sudah mulai terlihat sejak awal 2025.

Ia menjelaskan bahwa penurunan aliran modal asing, fluktuasi nilai tukar rupiah, serta defisit transaksi berjalan yang semakin melebar menjadi indikator awal dari gejolak ekonomi ini.

BACA JUGA: Ini yang Dibahas Megawati dan Prabowo Saat Bertemu di Teuku Umar

Sayangnya, hingga kini belum ada kebijakan yang sistematis untuk menahan dampak tersebut.

"Institusi keuangan tidak berhasil menciptakan koordinasi yang solid untuk menahan kejatuhan IHSG dan nilai tukar pada 7-8 April 2025," ujar Achmad saat diwawancarai oleh Disway, grup radarpena.co.id Rabu, 9 April 2025.

Instrumen Pasar Masih Bersifat Reaktif

Achmad menambahkan bahwa mekanisme seperti trading halt dan circuit breaker memang berfungsi sebagai langkah mitigasi terhadap volatilitas ekstrem di pasar modal.

Namun, menurutnya, instrumen ini bersifat reaktif—hanya menjadi "rem darurat" ketika kondisi pasar sudah berada di ambang krisis.

"Yang lebih penting adalah seberapa proaktif otoritas keuangan kita dalam membangun ketahanan pasar sebelum krisis benar-benar terjadi," tegasnya.

BACA JUGA:Kemana Mengalirnya Dana Deposito Bank DKI yang Bocor?

Ia juga menyoroti masalah koordinasi antarotoritas keuangan yang masih belum optimal. Sebagai contoh, Bank Indonesia menurunkan suku bunga dari 6,0% menjadi 5,75%, sementara di saat yang sama, pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Kebijakan yang tidak sinkron seperti ini dinilai dapat memperburuk kondisi ekonomi.

Perlunya Langkah Mikroprudensial yang Jelas

Untuk menghadapi situasi ini, Achmad menekankan pentingnya koordinasi yang lebih erat antara OJK, BI, dan Kemenkeu dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Lebih dari itu, ia juga menilai perlunya penerapan langkah-langkah mikroprudensial yang lebih spesifik di sektor pasar modal guna memperkuat ketahanan ekonomi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: