Fenomena Skinny Influencer di Era Digital: Antara Inspirasi dan Kontroversi

skinny influencer/ilustrasi-ilustrasi-berbagai sumber
Algoritma platform seperti TikTok dan Instagram memperkuat tren ini dengan menciptakan echo chamber, di mana pengguna terus disuguhi konten serupa.
Namun, apa yang dianggap inspirasi bagi sebagian orang bisa menjadi tekanan bagi yang lain. Remaja perempuan, khususnya, sering merasa terjebak dalam standar kecantikan yang tidak realistis. Melihat citra tubuh “sempurna” setiap hari di layar ponsel mereka dapat memengaruhi kesehatan mental dan hubungan mereka dengan tubuh sendiri.
Bahaya di Balik Skinny Influencer
Fenomena skinny influencer bukanlah hal baru. Di awal 2000-an, gerakan "pro-anorexia" mendominasi internet dengan mempromosikan pola makan ekstrem yang berujung pada gangguan makan. Kini, pesan serupa hadir dalam kemasan lebih halus dengan narasi seperti self-discipline, healthy living, dan self-love.
Menurut Kathleen Someah, psikolog spesialis gangguan makan, pendekatan ini lebih sulit dikenali namun tetap berbahaya.
“Pesan seperti ini mengaburkan batas antara hidup sehat dan tekanan sosial untuk mencapai standar tubuh tertentu,” ujarnya.
BACA JUGA:Influencer dan Selebgram, Mana yang Lebih Menguntungkan dan Potensial untuk Bisnis Digital?
Audiens muda menjadi kelompok paling rentan terhadap dampak negatif ini.
Di era di mana gerakan body positivity mulai mendapat perhatian, fenomena skinny influencer menjadi antitesisnya. Body positivity menekankan penerimaan tubuh dalam segala bentuk dan ukuran, sementara skinny influencer sering mempromosikan tubuh ideal sebagai satu-satunya standar kecantikan.
Ketegangan ini menciptakan dilema di masyarakat. Di satu sisi, ada dorongan untuk menerima tubuh apa adanya. Di sisi lain, media sosial terus-menerus menyuguhkan citra tubuh langsing yang dianggap lebih cantik dan diterima.
Untuk mengatasi dampak negatif dari fenomena ini, literasi digital menjadi kunci. Pengguna media sosial perlu belajar memilah konten dan menyadari bahwa standar kecantikan di media sosial tidak selalu mencerminkan kenyataan.
Platform seperti TikTok dan Instagram juga memiliki tanggung jawab besar dalam memoderasi konten yang berpotensi merusak kesehatan mental pengguna. Langkah tegas seperti menonaktifkan akun yang mempromosikan pola hidup tidak sehat bisa menjadi solusi awal.
BACA JUGA:Viral! Detik-detik Influencer Asal Thailand Tewas Usai Terima Challenge Tenggak Sebotol Wiski
Kreator konten juga perlu lebih bertanggung jawab. Alih-alih fokus pada standar tubuh tertentu, mereka dapat mengedukasi audiens tentang pentingnya kesehatan holistik, mencakup keseimbangan fisik dan mental.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: