Malam Satu Suro: Arti dan Asal – usul

Malam Satu Suro: Arti dan Asal – usul

JAKARTA, RADARPENA – Malam 1 suro sendiri merupakan suatu tradisi masyarakat jawa yang bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharram.

Malam 1 suro menandakan Awal Bulan Pertama dalam kalender jawa.

Penentuan Malam 1 suro

Malam 1 suro sendiri diperingati ketika malam hari setelah maghrib pada hari sebelum tanggal 1 suro. Dalam kalender Jawa sendiri, pergantian hari dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya. Bukan pada tengah malam sebagaimana pergantian hari pada kalender masehi.

Sejarah Malam Satu Suro

Kalender Jawa dibentuk berdasarkan gabungan pada penanggalan Hijriah (Islam), kalender Masehi, dan kalender Saka (Hindu). Kalender Jawa pertama kali diterbitkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1940.

BACA JUGA:Mengulik Sejarah Cengkeh: Perjalanan Sejarah dan Manfaatnya bagi Indonesia

Malam 1 Suro dalam Kalender Jawa untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. Pada tahun 931 H atau 1443 tahun Jawa baru atau zaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender hijriah dengan sistem kalender Jawa pada masa itu.

Tradisi malam satu Suro bermula saat zaman Sultan Agung. Saat itu, masyarakat umumnya mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwariskan dari tradisi Hindu, sedangkan Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriah (Islam).
Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa berinisiatif memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa.


Penyatuan kalender ini dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi. Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro, bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah.

BACA JUGA:Ali Sadikin, Sebuah Nama yang Menghiasi Sejarah Jakarta

Sultan Agung juga ingin menyatukan Pulau Jawa. Oleh karena itu, dia tidak ingin rakyatnya terpecah belah karena perbedaan keyakinan agama.

Sementara itu, Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Kemudian, pada setiap hari Jumat legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil pengajian oleh para penghulu kabupaten, sekaligus ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri.

Dengan demikian, 1 Muharram atau 1 Suro Jawa yang dimulai pada hari Jumat legi juga ikut dikeramatkan. Bahkan, jika ada orang yang memanfaatkan hari itu untuk kepentingan di luar mengaji, ziarah, dan haul, akan dianggap sial.

BACA JUGA:Sejarah Candi Ratu Boko, Peradaban Jawa Kuno Abad Ke 8

Perayaan Malam 1 Suro

Biasanya, diadakan ritual iring-iringan rombongan masyarakat atau biasa disebut kirab pada malam satu Suro. Perayaan ini dilangsungkan di beberapa daerah di Jawa.
Di Solo, perayaan malam 1 Suro biasa dirayakan dengan adanya hewan khas kebo bule. Kebo bule bukan sembarang kerbau, melainkan Kebo Bule Kyai Slamet yang dianggap keramat oleh masyarakat dan termasuk pusaka penting milik keraton.


Berbeda dari Solo, perayaan malam 1 Suro di Yogyakarta biasanya identik dengan keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan atau kirab. Selain itu, ada juga hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta benda pusaka yang menjadi sajian khas dalam iring-iringan atau kirab.

Perayaan malam 1 Suro berfokus pada ketentraman batin dan keselamatan. Umumnya, pada malam 1 Suro, masyarakat berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan melakukan kebaikan-kebaikan sepanjang bulan Suro.

BACA JUGA:Mengenal Sejarah Dan Fakta Unik Suku Baduy

Sepanjang bulan Suro, masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling memiliki arti bahwa manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sementara itu, waspada berarti manusia harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.***(dms)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: