Sebelumnya mantan Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkap cerita soal Presiden Jokowi yang meminta KPK menghentikan kasus korupsi e-KTP.
Kasus ini menyeret mantan Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto (Setnov).
Agus mengatakan saat itu dirinya dipanggil sendirian oleh Jokowi ke Istana.
"Saya terus terang pada waktu kasus E-KTP saya dipanggil sendirian, oleh Presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara)," kata Agus dalam program Rosi, Kompas TV.
"Saya heran biasanya memanggil itu berlima (bersama pimpinan KPK lainnya), ini kok sendirian. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi lewat (pintu) masjid kecil itu, jadi masuk dari sana," kata Agus.
Begitu masuk, Agus menyebut Presiden Jokowi sudah dalam keadaan marah.
Menurutnya Kepala Negara meminta untuk menghentikan kasus e-KTP Setnov.
"Di sana begitu saya masuk, Presiden sudah marah. Presiden sudah marah menginginkan, karena baru saya masuk beliau sudah teriak 'Hentikan', kan saya heran, hentikan, yang dihentikan apanya".
"Setelah saya duduk, ternyata saya baru tahu kalau yang suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov. Ketua DPR pada waktu itu, mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan".
Agus menjelaskan bahwa KPK sudah mengeluarkan sprindik (surat perintah penyidikan) kasus e-KTP beberapa minggu sebelumnya.
Berdasarkan UU KPK yang lama, KPK tidak bisa menghentikan atau membatalkan penyidikan suatu perkara.
"Nah sprindik itu kan sudah saya keluarin tiga minggu yang lalu, dari Presiden bicara itu. Sprindik itu tidak mungkin karena KPK tidak punya SP3 (Surat perintah Penghentian Penyidikan), tidak mungkin saya berhentikan," katanya.
Oleh karena itu, KPK kemudian lanjut mengusut kasus e-KTP. Agus merasa bahwa momen itu berimbas pada revisi UU KPK.
Dalam revisi UU KPK, terdapat sejumlah ketentuan yang diubah. Di antaranya KPK di bawah kekuasaan eksekutif dan bisa menerbitkan SP3.
"Kemudian karena tugas di KPK itu seperti itu makanya ya kemudian tidak saya perhatikan, ya saya jalan terus. Tapi akhirnya-kan dilakukan revisi UU, nanti-kan intinya revisi UU itu-kan SP3 menjadi ada, kemudian di bawah Pesiden," ujarnya.
"Karena pada waktu itu mungkin Pesiden merasa bahwa ini Ketua KPK diperintah Presiden kok enggak mau. Apa mungkin begitu".