JAKARTA, RADARPENA - Pemerhati budaya sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Tundjung W Sutirto mengatakan, perkembangan mitos malam satu Suro terjadi secara akumulatif. Mitos ini berawal dari pensakralan yang dilakukan masyarakat Jawa terkait penggabungan kalender Islam dan Jawa (Hindu) sebagaimana asal-usul malam satu Suro. “ Momentum penanggalan yang digaungkan itu diyakini sebuah momentum yang istimewa sehingga masyarakat menganggap malem Suro adalah sakral karena adanya penggabungan itu akan menentukan perhitungan (dalam bahasa Jawa: petangan)," jelasnya,
Sifat sakral itulah yang menuntun masyarakat Jawa sebagai pendukung budaya untuk "meluhurkan" sebuah pergantian tahun dengan "laku spiritual". Dari situ, muncul mitos untuk tidak bepergian jauh tanpa tujuan, tidak menyelenggarakan pernikahan, tidak pindah rumah, dan tidak keluar rumah.
BACA JUGA:Rekomendasi Film Monster, The Great Wall Dan Mitos Tembok Besar China Perkembangan mitos malam satu Suro Perkembangan mitos tidak dapat disebut sebagai momentum. Mitos itu berkembang secara akumulatif, yaitu dalam makna sesuai konteks zamannya oleh pemangku kebudayaan.
" Jika dicari mulai kapan tentu sejak Sultan Agung menciptakan penggabungan kalender Saka dengan Islam pada dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M," terang Tundjung.
Sebagai contoh, tradisi kirab pusaka di Keraton Surakarta yang digelar setiap malam satu Suro bukan merupakan tradisi yang berlangsung sejak kerajaan Mataram ada. Tradisi kirab pusaka di Keraton Surakarta baru terjadi pada 1974. Saat itu, Presiden Soeharto meminta kepada Paku Buwono XII untuk melakukan kirab pusaka dengan tujuan agar bangsa Indonesia terhindar dari bencana. Kendati demikian, semua mitos yang berkembang dan diyakini orang Jawa substansinya adalah pengendalian diri.
BACA JUGA:Mengulik Sejarah Cengkeh: Perjalanan Sejarah dan Manfaatnya bagi Indonesia
" Semua mitos tentang malam Suro adalah pantangan untuk bersenang-senang. Tuntunan yang diwarisi dari para leluhur adalah sebuah cipta rasa dan karsa bagaimana terjadinya penanggalan Jawa yang merupakan penggabungan kalender Islam dengan Jawa (Hindu)," kata Tundjung. Kenapa Malam Satu Suro Tidak Boleh Keluar Rumah ?
Tundjung menjelaskan, larangan tidak boleh keluar rumah pada malam satu Suro juga merupakan salah satu mitos yang diyakini masyarakat Jawa. "Itu juga sebuah mitos. Disarankan lebih baik tidak keluar rumah jika tidak perlu," kata Tundjung.
BACA JUGA:Sejarah Candi Ratu Boko, Peradaban Jawa Kuno Abad Ke 8
Legitimasinya adalah, kalau keluar rumah akan sial karena diyakini akan bertemu dengan pasukan dari Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan) yang tengah menuju ke keraton atau ke Gunung Merapi.
"Zaman dahulu setiap malem Suro auranya mistis karena berbagai mitos pantangan keluar rumah itu," ungkap Tundjung. Namun, mitos ini justru berbanding terbalik dengan tradisi keraton yang menggelar kirab di tengah malam hari.
Menurut Tundjung, tradisi ini ada kaitannya dengan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Abiproyo, yaitu perjanjian antara Panembahan Senopati (Raja Mataram) dengan Nyai Roro Kidul. Disebutkan bahwa Nyai Roro Kidul akan membantu kerajaan Mataram dari musuh.
"Maka, ketika masyarakat Jawa malam Suro itu ke keraton dianggap sebagai kawula Mataram yang akan terlindungi dari marabahaya dibandingkan jika hanya keluar rumah tanpa tujuan," tandas Tundjung.***(dms)